Warinussy: Peringati 9 Agustus sebagai Momentum Kebangkitan Masyarakat Adat Papua

Foto Bersama Dewan Adat Papua Wilayah III Pada Saat Syukuran Hari Masyarakat Adat Seduani 2020

MANOKWARI, LENTERAPESISIR, - Peringatan Hari Masyarakat Asli/Pribumi dan Adat Internasional tahun 2020, 9 Agustus 2020 kemarin, kiranya bisa dijadikan sebagai moment kebangkitan Masyarakat Adat Papua. Itu diungkap Advokat dan Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberay, Yan Christian Warinussy.

Menurut Warinussy, kebangkitan itu sesuai amanat Pasal 1 Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat Internasional.

Pasal 1 berbunyi, "Masyarakat adat berhak menikmati secara penuh, secara kolektif ataupun individu, keseluruhan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana diakui dalam Piagam PBB, Piagam Hak Asasi Manusia dan hukum hak asasi manusia internasional".

Kesadaran Masyarakat Adat Papua kata Warinussy, secara total sesungguhnya diawali dalam penyelenggaraan perlindungan hak-hak dasar mereka atas sumber daya alam, beserta jati diri sebagai bagian dari masyarakat adat dunia.

Di dalam Penyelenggaraan Musyawarah Besar Masyarakat Adat Wondama bulan Juni 1999 di Mieri-Wasior. Hal ini telah dimulai dan dicanangkan di dalam Deklarasi Aitumieri.

Kemudian diangkat dan dibahas serta diperkuat dalam Kongres Papua II Mei-Juni 2000 di Jayapura. Itu dihasilkan dalam Komisi Hak-hak Dasar berbentuk Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua. Manifesto mana mencakup bidang ekonomi, bidang sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan dan kependudukan serta bidang budaya, bahkan hak-hak sipil dan politik.

Aspirasi luhur masyarkat adat Papua tersebut kata Warinussy, kemudian diakomodir dengan baik di dalam rumusan kebijakan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yaitu di dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Di dalam konsideran menimbang huruf f yang berbunyi: "bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri".

Bahkan pada konsideran menimbang huruf g disebutkan: "bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua."

Kemudian dipertegas dalam konsideran menimbang huruf h, bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka NKRI.

"Latar belakang politik hukum inilah yang mendorong lahirnya kebijakan otonomi khusus di Tanah Papua. Artinya, dari sisi hukum Negara (NKRI) hendak memberi perlindungan (protection), pemberdayaan (empowering) serta keberpihakan (afirmasi) bagi Masyarakat Asli/Adat Papua untuk tumbuh, berkembang dan Merdeka di atas tanah-tanah adatnya di Bumi Cenderawasih tercinta ini," tegas Warinussy.

Itulah sebabnya di dalam Pasal 1 huruf t (definisi orang asli Papua/OAP). Kemudian huruf o (adat), huruf p (Masyarakat Adat), huruf q (Hukum Adat), huruf r (Masyarakat Hukum Adat) serta huruf s tentang Hak Ulayat.
Selanjutnya di dalam Pasal 43 diatur mengenai Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Dengan demikian Negara (NKRI) telah mengakui dan memberikan perlindungan secara hukum terhadap Orang Asli Papua, sebagai Masyarakat Adat Dunia berikut hak-hak dasarnya.

Itulah sebabnya, langkah penting dalam upaya melindungi dirinya sendiri, maka masyarakat adat Papua menyelenggarakan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua (KBMAP) pertama tahun 2005.

KBMAP kemudian menjadi forum tertinggi Masyarakat Adat Papua untuk merumuskan langkah dan program strategisnya dalam mewujudkan cita-cita perlindungan, dan pemberdayaan hak-hak dasarnya sesuai amanat pasal 43 di atas.

Itulah sebabnya Masyarakat Adat Asli Papua tidak boleh melacurkan dirinya untuk masuk dalam sistem pemecah belah atau politik Devide et Impera.
Masyarakat Adat Papua kata Warinussy, harus mau menempatkan dirinya pada Dewan Adat Papua (DAP) yang berjalan sesuai statuta dan pedoman dasar DAP Tahun 2005 hasil dari KBMAP.

Kini di Tanah Papua telah muncul banyak kelembagaan yang menyebut dirinya sebagai lembaga adat dan sebagainya. Namun harus jujur diakui, kelembagaan tersebut tidak memiliki sejarah dan akar di Masyarakat Adat Papua asli. Lebih banyak merupakan hasil dari kerja kontra spionase dalam upaya "memenangkan" kepentingan politik tertentu sahaja.

Warinussy juga menghimbau pentingnya kesadaran di antara para pemimpin adat di Tanah Papua, termasuk di Wilayah III Doberay, agar bersatu untuk bangkit memperjuangkan perlindungan dan pemberdayaan Masyarakat Adat/Asli Papua dan hak-hak dasarnya sejak sekarang ini.(BR)

#belajarmenulisberita&editvideo

#bentarapapua

#balitbangdapb


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tolak Omnibus Law, KAMMI Manokwari : DPR Stop Bodohi Rakyat

Kunjungi Asrama Papua di Bandung Bngkitkan Motivasi dan Bagi Sembako